Senin, 08 November 2010

Inflasi 2011 di Bawah 6%

Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution memperkirakan laju inflasi pada 2011 akan lebih tinggi daripada 5,3 persen tetapi lebih rendah dari 6%.

"Kalau tidak ada tambahan dari administered price (inflasi dari kebijakan pemerintah) dan hanya tekanan dari makro ekonomi, inflasi tahun depan cenderung melebihi dari asumsi APBN 2011 5,3 persen, tetapi akan di bawah 6%," kata Darmin di Bandung, Rabu (27/10).

Sementara untuk inflasi tahun ini, BI memperkirakan akan sedikit berada di atas 6% mengingat masih akan adanya inflasi pada dua bulan terakhir.

"Bulan ini masih akan inflasi, karena harga beras masih tinggi plus kenaikan harga perhiasan emas," katanya.

Sebelumnya, Darmin juga meminta agar kantor BI di daerah juga bisa berfungsi sebagai fasilitator agar produksi dan distribusi bahan pokok berjalan baik untuk menjaga laju inflasi tidak terlalu tinggi.

Darmin juga menyinggung masih belum baiknya struktur pasar di daerah karena masih tingginya selisih harga di petani dengan pedagang di pasar. "Kalau lebih efektif, produksi bisa menjadi lebih baik dan akan menurunkan inflasi," katanya. (Ant/OL-9)

sumber :http://www.mediaindonesia.com/read/2010/10/27/178167/4/2/Inflasi-2011-di-Bawah-6

Kenaikan laju inflasi dinilai wajar

Pemerintah menilai wajar jika terjadi peningkatan laju inflasi pada tahun depan melebihi proyeksi tahun ini yang sebesar 3,6% seiring dengan dipacunya pertumbuhan ekonomi.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan pemulihan ekonomi global dan penguatan aktivitas ekonomi domestik akan memengaruhi permintaan dan harga-harga barang. Kendati laju inflasi mulai merangkak naik, tetapi pemerintah akan menjaganya pada kisaran yang sudah ditetapkan dalam APBN 2010, yakni maksimal 5%.

"Kita lihat inflasi 3,6% pada tahun ini dan pada 2010 akan sedikit naik dan ini normal seiring penguatan aktivitas ekonomi domestik dan tentu membaiknya perekonomian global," ujarnya dalam Seminar bertajuk Inspirasi Peluang Investasi & Prospek Ekonomi 2010 hari ini.

Dia mengatakan hal ini erat kaitannya dengan upaya pemerintah memacu pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,5%-5,6% pada 2010 dalam rangka pemulihan ekonomi pascakrisis financial.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat setiap tahunnya, yakni secara berurutan 4,3%, 5%, 6,2%, 6,6%, 7,1%, damn 7,2%. Kendati demikian, laju inflasi diupayakan terus dijaga di level
5% hingga 2011 dan akan ditekan menjadi 4,5% pada 2012, serta 4% di 2013 dan 2014.

sumber :http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id149283.html

Inflasi Tinggi Akibat Kebijakan Tim Ekonomi

Jakarta—Kegagalan tim ekonomi dalam mengantisipasi dampak kenaikkan harga BBM menyebabkan laju inflasi terus terjadi sampai akhir tahun 2005. Tim ekonomi seharusnya mengambil berbagai kebijakan fiskal yang konkret untuk meredam laju inflasi pada November dan Desember 2005. Sejauh ini mereka belum melakukan kebijakan yang berarti.
Demikian rangkuman pendapat ekonom Econit, Hendri Saparini, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sri Adiningsih dan ekonom Indef, Iman Sugema di Jakarta, Jumat (2/12).
Mereka dimintai komentarnya soal inflasi yang tinggi pada November 2005 seperti yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), Kamis (1/12). Inflasi November 2005 mencapai 1,31 persen, laju inflasi pada Januari-November mencapai 17,17 persen sedangkan inflasi tahunan (year on year) November 2004-November 2005 mencapai 18,38 persen.
“Tim ekonomi sama sekali tidak mempersiapkan berbagai kebijakan dalam menanggulangi kenaikan inflasi setelah BBM dinaikkan rata-rata 126 persen,” kata Hendri.
Hendri menilai, Gubernur Bank Indonesia (BI), Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan justru sibuk mengeluarkan pernyataan untuk meyakinkan masyarakat pada November dan Desember akan terjadi deflasi.
“Tetapi faktanya deflasi tidak akan terjadi karena dampak kenaikan harga barang-barang tidak akan langsung tetapi 2-3 bulan setelah kenaikan BBM,” tambahnya.
Tim ekonomi seharusnya melakukan berbagai terobosan fiskal insentif bagi dunia usaha dan menggerakkan sektor produktif. Tetapi tim ekonomi hanya bersikap reaktif dan temporer serta miskin inisiatif.
“Sulit mengharapkan gebrakan dari tim ekonomi sekarang karena kemampuan dalam mengambil kebijakan fiskal sangat lemah,” ujarnya.
Menurut Hendri, dari sektor moneter sebenarnya BI telah mengambil kebijakan yang lebih dari cukup dalam meredam laju inflasi. “Kebijakan moneter ketat sudah cukup permasalahan ada di tangan otoritas fiskal,” ujarnya.

BI Rate
Hendri tidak setuju BI terus menaikkan tingkat suku bunga untuk meredam inflasi. Saat ini BI rate sudah mencapai 12,25 persen dan jika dinaikkan sampai 14 persen dampaknya akan luar biasa bagi sektor riil dan peningkatan kredit bermasalah (NPL) di perbankan.
Iman Sugema menambahkan, peningkatan BI Rate tidak akan efektif menurunkan laju inflasi. Tindakan tersebut dinilainya tidak relevan karena inflasi yang tinggi saat ini bukan disebabkan oleh kebijakan moneter melainkan kenaikan BBM.
Ditegaskan, jika pengelolaan ekonomi masih seperti sekarang ini, sulit mengharapkan terjadinya perbaikan ekonomi pada 2006. “Tim ekonomi tidak tahu apa yang mau dilakukan dan bagaimana menempuh kebijakan terobosan, bagaimana mungkin mengatakan ekonomi akan membaik pada akhir 2006,” ujarnya.
Sementara Sri Adiningsih menjelaskan, inflasi akan terus berjalan sampai Desember 2005 karena ada Hari Raya Natal dan Tahun Baru. “Saya perkirakan inflasi akan tetap cukup besar yakni sekitar 1-1,5 persen pada Desember ini,” kata Sri.
Inflasi Januari-Desember 2005 diperkirakan akan menembus angka 18 persen dan ini menjadi masalah serius. Pemerintah perlu mengambil berbagai kebijakan ekonomi seperti memikirkan kembali rencana kenaikan TDL, harga gas elpiji dan tarif telepon. “Deflasi tidak akan terjadi pada November dan Desember karena second round inflation akan terus berlangsung selama Desember,” ujarnya.
Pemerintah perlu mengambil kebijakan mengendalikan angka inflasi seperti menjamin distribusi barang-barang dan memberikan insentif bagi sektor produktif agar mampu bergerak.
Ia menyatakan BI harus tetap mempertahankan kebijakan pengetatan moneter dan menaikkan suku bunga secara terukur (konservatif). “Jangan sampai BI rate dibawa ke level 14 persen sebab ini akan membahayakan sektor riil dan perbankan nasional,” ujarnya.

Belum Respon
Di Denpasar, Jumat (2/12), Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S Goeltom kepada SH, mengatakan, BI tidak akan bereaksi terhadap setiap gejolak tingkat inflasi, apalagi kalau itu sebagai akibat faktor kenaikan harga minyak dunia.
”Kita tidak akan merespons pada setiap terjadi gejolak inflasi, one to one, karena lonjakan yang sekarang mencapai 18,3 persen ini akibat kenaikan harga BBM. Padahal tingkat inflasi inti, atau core inflation, baru berkisar pada angka 8 persen,” ujarnya disela Seminar Internasional ”Marrying Time Consistency in Monetary Policy with Financial Stability: Strengthening Economic Growth” di Jimbaran, Bali.
Dia menegaskan, BI masih akan menghitung apakah harus menaikkan BI rate. ”Kita masih melihat situasi, ini kan external schock,” katanya.
Miranda mengingatkan, awal tahun ini BI rate ditetapkan 7,5 persen dan kini sudah dinaikkan menjadi 12,5 persen, yang berarti ada kenaikan lima persen. ”Jadi apakah akan ada tanggapan dari kami mengenai suku bunga, akan diumumkan hari Selasa (6/12) mendatang,” kata Miranda.
Miranda dalam seminar itu mengatakan, BI akan konsisten dengan target inflasi jangka panjang yang telah ditetapkan, demi menciptakan kredibilitas. ”Konsisten berarti kita tidak boleh membiarkan target inflasi jangka panjang diubah atau membuat kebijakan diskresi, jadi jangan langsung bereaksi terhadap tekanan jangka pendek, harus tetap fokus pada target inflasi, tidak boleh terlalu fleksibel,” katanya.


sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0512/02/sh02.html

Kenaikan Harga BBM akan Picu Inflasi 12%

Kenaikan harga BBM yang sangat tinggi dan diperkirakan memicu laju inflasi hingga 12% pada tahun ini, dinilai justru akan berdampak buruk terhadap perekonomian nasional.
"Pemerintah menaikan harga BBM untuk memperbaiki keuangan pemerintah, namun efek 'multi player' nya justru akan kontra produktif atau memukul balik perekonomian nasional. Hal ini tampaknya tidak dihitung," Kata pengamat ekonomi Aviliani di Jakarta, Rabu.
Dijelaskannya, dampak langsung dari kenaikan BBM itu adalah melonjaknya laju inflasi yang diperkirakan mencapai 12 persen, yang kemudian diikuti dengan kenaikan suku bunga seperti yang sudah dilakukan BI dengan meningkatkan 'BI Rate' dari 10% menjadi 11%.
Kenaikan suku bunga BI, lanjutnya pasti akan diikuti kenaikan suku bunga tabungan sehingga suku bunga kredit juga akan naik. Hal ini selain akan berdampak pada pertambahan kredit bermasalah juga akan membuat dunia usaha menghentikan ekspansi usahanya untuk menunggu suku bunga turun.
"Kenaikan BBM menjadi kontra produktif karena pertumbuhan konsumsi, investasi dan ekspor akan menurun. Ini justru berlawanan dengan niat awal Presiden Yudhoyono yang berjanji untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya.
Hal ini lanjutnya, diperburuk dengan dampak lanjutan dari rendahnya pertumbuhan ekonomi yang akan menciptakan tambahan pengangguran dan jumlah orang miskin.
Untuk itu, Aviliani meminta agar dana pengurangan subsidi BBM di APBN sekitar Rp 45 triliun bisa digunakan untuk kepentingan penciptaan lapangan kerja seperti dengan mendorong pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur.
Sementara itu, Direktur Perencanaan Strategis dan Humas BI Halim Alamsyah mengatakan, kenaikan harga BBM yang sangat besar justru berdampak positif di pasar modal dan pasar uang. Terlihat, dengan membaiknya indeks harga saham dan menguatnya nilai tukar rupiah.
"Dunia internasional memandang positif, seperti yang diungkapkan lembaga rating Standard and Poor' s bahwa langkah yang diambil pemerintah telah mengembalikan jalur perekonomian Indonesia pada arah yang benar," katanya.
Dalam jangka pendek, lanjutnya, kebijakan pemerintah yang didukung BI itu dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi 2005 dan beberapa waktu ke depan.
Tetapi, dalam jangka panjang, dengan pondasi yang lebih sehat dan kebijakan yang fokus pada pengendalian inflasi, pelambatan itu tidak akan berlangsung lama.

sumber : http://www.kapanlagi.com/h/old/0000085575.html.

Kestabilan Nilai Tukar Rupiah Membawa Dampak Menurunnya Laju Inflasi


Presiden SBY saat menyampaikan laporan RAPBN dan Nota Keuangan di gedung MPR/DPR RI, Senin (16/8) sore. (foto: abror/presidensby.info)
Presiden SBY saat menyampaikan laporan RAPBN dan Nota Keuangan di gedung MPR/DPR RI, Senin (16/8) sore. (foto: abror/presidensby.info)
Jakarta: Sejalan dengan terpeliharanya kestabilan nilai tukar rupiah, laju inflasi selama tahun 2009 secara berangsur-angsur terus menurun. Laju inflasi tahunan yang pada akhir tahun 2008 mencapai sekitar 11,1 persen, menurun menjadi 2,8 persen pada akhir tahun 2009. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan hal ini ketika menyampaikan Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2011 Beserta Nota Keuangannya, di hadapan Rapat Paripurna DPR di Gedung Paripurna DPR/MPR RI, Senin (16/8) sore.

"Angka ini di bawah sasaran yang ditetapkan pemerintah sebesar 4,5 persen," ujar SBY. Presiden menambahkan bahwa menurunnya laju inflasi sepanjang tahun 2009, sangat dipengaruhi oleh rendahnya laju inflasi pada bahan makanan dan komponen barang-barang yang harganya ditetapkan pemerintah.

Namun, pada tahun 2010 ini, laju inflasi diperkirakan cenderung meningkat sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia yang mendorong kenaikan harga-harga komoditas global, dan inflasi mitra dagang utama Indonesia.

Selain itu, perubahan iklim yang ekstrim juga telah berdampak pada menurunnya produksi pangan dunia. "Penurunan produksi seperti gandum, gula dan jagung di tingkat global, berakibat pada meningkatnya harga pangan dunia dan mendorong terjadinya inflasi," Presiden menjelaskan.

Oleh karena itu, pemerintah harus terus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan dengan melakukan operasi pasar, menjaga kecukupan pasokan dan ketersediaan barang, mengamankan stok di daerah, menjaga kelancaran distribusi barang, mengembangkan sistem logistik nasional, dan mengintensifkan penyuluhan pertanian agar petani lebih siap dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Di lain pihak, menurunnya tekanan inflasi sepanjang tahun 2009, telah direspon dengan penurunan BI rate sejak Januari 2009, dan mendorong suku bunga SBI 3 bulan rata-rata dalam tahun 2009, mencapai sekitar 7,6 persen. "Ini lebih rendah dari rata-rata suku bunga SBI 3 bulan tahun sebelumnya, tahun 2008, yang mencapai sekitar 9,3 persen," kata SBY.

Menurut Kepala Negara, stabilitas ekonomi makro dan kepercayaan pasar, merupakan prasyarat untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan. Ketika sebagian besar negara di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif di tahun 2009, laju pertumbuhan PDB Indonesia mencapai 4,5 persen. "Ini menempatkan negara kita menjadi salah satu dari tiga negara yang memiliki kinerja ekonomi terbaik dalam tahun itu, di samping Tiongkok dan India," SBY menjelaskan.

Presiden SBY menambahkan bahwa selama paruh pertama tahun 2010, pertumbuhan PDB nasional juga mengalami percepatan. Pada triwulan I tumbuh sekitar 5,7 persen, dan pada triwulan II tumbuh sekitar 6,2 persen.

Kepala Negara juga meyakini dengan arah perkembangan yang positif, pemerintah optimis akan pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia dalam tahun 2010 ini. "Diperkirakan dapat mencapai 6,0 persen, lebih tinggi dari perkiraan semula, sebesar 5,8 persen," Presiden menandaskan.

Berdasarkan perkembangan ekonomi global dan perekonomian domestik, lanjut Presiden, kerangka ekonomi makro dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2011 mengambil dasar perhitungan berbagai besaran dalam RAPBN tahun 2011. Dasar perhitungan tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi 6,3 persen, laju inflasi 5,3 persen, suku bunga SBI 3 bulan 6,5 persen, nilai tukar Rp 9.300 per dolar Amerika Serikat, harga minyak 80,0 dolar AS per barel, dan lifting minyak
sumber : http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2010/08/16/5779.htmlsebesar 970 ribu barel per hari.

BPS Perkirakan Dampak Berbagai Bencana Terhadap Inflasi Tidak Akan Besar

Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan dampak berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini terhadap laju inflasi di tanah air tidak akan terlalu besar.
"Pengaruhnya akan sangat lokal. Pengalaman di Yogyakarta yang tergolong agak besar, pengaruhnya terhadap laju inflasi secara keseluruhan tidak terlalu besar," kata Kepala BPS, Rusman Heriawan di Gedung Departemen Keuangan Jakarta, Rabu (19/07).
Rusman memperkirakan, pengaruh bencana gempa dan tsunami di pesisir selatan Jawa khususnya di Pangandaran juga tidak akan besar dan hanya bersifat lokal saja.
"Harapan kita tidak akan terlalu besar dampaknya terhadap laju inflasi secara nasional," kata Rusman.
Ia mengakui adanya bencana banjir dan kekeringan yang mengakibatkan kegagalan panen memang akan menyebabkan harga beras naik.
"Memang harga beras akan sedikit lebih tinggi tetapi masih dalam batas yang dapat ditoleransi sehingga kenaikan harga itu akan menguntungkan petani," kata Rusman.
Menurut dia, gaji ke-13 bagi pegawai negeri, pensiunan, dan pejabat negara yang sudah dibayarkan pada Juli 2006 ini juga tidak akan besar pengaruhnya kepada laju inflasi.
"Itu hanya sekali dalam setahun bukan permanen ada kenaikan setiap bulan sehingga tidak akan berpengaruh pada laju inflasi," katanya.
Sebelumnya BPS mencatat tingkat inflasi nasional pada Juni 2006 sebesar 0,45%, sehingga laju inflasi tahun kalender (Januari-Juni 2006) sebesar 2,87% dan laju inflasi (year on year) sebesar 15,53%.
Sementara itu, inflasi komponen inti pada Juni 2006 sebesar 0,31%. Laju inflasi komponen inti tahun kalender (Januari-Juni 2006) sebesar 2,72%, sedangkan laju inflasi inti (year on year) atau Juni 2006 terhadap Juni 2005 sebesar 9,58%.
Pada bulan Juni, inflasi tertinggi terjadi di Ambon sebesar 3,29% dan inflasi terendah di Medan, 0,02%. Sedangkan deflasi terbesar di Ternate sebesar 1,39% dan deflasi terkecil di Menado 0,01%. (*/lpk) 

sumber : http://www.kapanlagi.com/h/old/0000125609.html

Dampak Laju Inflasi 2008 terhadap IT

Dalam beberapa hari semenjak tahun 2008 dimulai, tekanan terhadap inflasi dalam negeri rupanya telah menunjukkan peningkatan yang kurang menggembirakan. Masih belum baiknya distribusi dan penyediaan kebutuhan pokok di dalam negeri rupanya telah memperparah angka inflasi Indonesia.
Pada hari Selasa yang lalu, seperti yang dilansir Antara, Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah mengatakan bahwa kajian penelitian BI memperlihatkan tekanan inflasi pada 2008 maksimum terjadi 6,3%, bila pemerintah tidak melakukan tindakan apa pun. Lebih lanjut ia mengatakan, “Para peneliti di BI melihat justru pada ‘high end’ dekat ke arah 6%, dan bahkan bisa melewati 6%, maksimumnya 6,3% apabila tidak ada usaha yang dilakukan, jadi apabila tidak melakukan apa-apa, maka itulah yang akan terjadi”.
Untuk itu, ia mengemukakan, pihaknya bersama pemerintah akan terus berupaya untuk mengendalikan tekanan inflasi yang kuat pada 2008. Menurutnya, pemerintah akan mengendalikan inflasi dengan berupaya perbaikan di bidang distribusi dan upaya penyediaan kebutuhan pokok.
Banyak pihak mulai meragukan kemampuan pemerintah untuk merealisasikan target penurunan inflasi dalam negeri sebesar lima plus minus satu dapat tercapai. Apalagi jika dilihat dalam dua tahun sebelumnya, terbukti pemerintah juga telah meleset dari target penurunan inflasi yang ditetapkannya. Kenaikkan harga minyak dunia pada akhir tahun 2007 yang sempat mencapai $100 dollar per barel kemarin pun ternyata masih berdampak pada harga barang kebutuhan di dalam negeri.
Seperti yang dikatakan Anton Gunawan, seorang ekonom Citibank kepada Antara, “Kami memperkirakan tingkat inflasi 2008 bergerak lebih tinggi sebagai kelanjutan dari berbagai kecenderungan sebelumnya”. Menurutnya kenaikan harga pangan serta tingginya tekanan pada inflasi inti, seperti gejolak kurs, pertumbuhan jumlah uang edar, akan meningkatkan tekanan pada inflasi.
Disamping itu Indonesia diperkirakan juga masih akan menghadapi sejumlah masalah yang menyebabkan tekanan pada inflasi, seperti adanya gangguan arus barang dan jasa serta memburuknya infrastruktur. Untuk hal yang satu ini, tentunya Indonesia juga harus waspada, mengingat selama ini masih banyak pemenuhan kebutuhan barang di Indonesia bergantung pada arus impor dari luar negeri. Sebut saja barang-barang elektronik, suku cadang kendaraan, serta berbagai macam piranti komputer, mulai dari hardware hingga software, Indonesia masih sangat bergantung pada arus barang dagang dari luar negeri, alias import. Tentu saja hal ini menimbulkan keprihatinan tersendiri, mengingat nilai tukar rupiah terhadap dollar pun ternyata hingga saat ini belum menunjukkan perbaikan yang signifikan, apalagi kestabilan.
Khusus untuk bidang IT, kerawanan terhadap distribusi hardware maupun software dari luar negeri tetap merupakan ancaman terbesar dalam masalah ini. Mengingat ketergantungan Indonesia terhadap arus barang datang serta belum mampunya industri dalam negeri memenuhi kebutuhan jenis barang ini. Selain itu, dari segi harga barang-barang jenis ini juga diperkirakan masih akan sangat fluktuatif, mengingat gejolak ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap dollar yang masih berlangsung hingga saat ini.

sumber : http://indocashregister.com/2008/12/01/dampak-laju-inflasi-2008-terhadap-itmesin-kasir/