Senin, 08 November 2010

Inflasi Tinggi Akibat Kebijakan Tim Ekonomi

Jakarta—Kegagalan tim ekonomi dalam mengantisipasi dampak kenaikkan harga BBM menyebabkan laju inflasi terus terjadi sampai akhir tahun 2005. Tim ekonomi seharusnya mengambil berbagai kebijakan fiskal yang konkret untuk meredam laju inflasi pada November dan Desember 2005. Sejauh ini mereka belum melakukan kebijakan yang berarti.
Demikian rangkuman pendapat ekonom Econit, Hendri Saparini, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sri Adiningsih dan ekonom Indef, Iman Sugema di Jakarta, Jumat (2/12).
Mereka dimintai komentarnya soal inflasi yang tinggi pada November 2005 seperti yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), Kamis (1/12). Inflasi November 2005 mencapai 1,31 persen, laju inflasi pada Januari-November mencapai 17,17 persen sedangkan inflasi tahunan (year on year) November 2004-November 2005 mencapai 18,38 persen.
“Tim ekonomi sama sekali tidak mempersiapkan berbagai kebijakan dalam menanggulangi kenaikan inflasi setelah BBM dinaikkan rata-rata 126 persen,” kata Hendri.
Hendri menilai, Gubernur Bank Indonesia (BI), Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan justru sibuk mengeluarkan pernyataan untuk meyakinkan masyarakat pada November dan Desember akan terjadi deflasi.
“Tetapi faktanya deflasi tidak akan terjadi karena dampak kenaikan harga barang-barang tidak akan langsung tetapi 2-3 bulan setelah kenaikan BBM,” tambahnya.
Tim ekonomi seharusnya melakukan berbagai terobosan fiskal insentif bagi dunia usaha dan menggerakkan sektor produktif. Tetapi tim ekonomi hanya bersikap reaktif dan temporer serta miskin inisiatif.
“Sulit mengharapkan gebrakan dari tim ekonomi sekarang karena kemampuan dalam mengambil kebijakan fiskal sangat lemah,” ujarnya.
Menurut Hendri, dari sektor moneter sebenarnya BI telah mengambil kebijakan yang lebih dari cukup dalam meredam laju inflasi. “Kebijakan moneter ketat sudah cukup permasalahan ada di tangan otoritas fiskal,” ujarnya.

BI Rate
Hendri tidak setuju BI terus menaikkan tingkat suku bunga untuk meredam inflasi. Saat ini BI rate sudah mencapai 12,25 persen dan jika dinaikkan sampai 14 persen dampaknya akan luar biasa bagi sektor riil dan peningkatan kredit bermasalah (NPL) di perbankan.
Iman Sugema menambahkan, peningkatan BI Rate tidak akan efektif menurunkan laju inflasi. Tindakan tersebut dinilainya tidak relevan karena inflasi yang tinggi saat ini bukan disebabkan oleh kebijakan moneter melainkan kenaikan BBM.
Ditegaskan, jika pengelolaan ekonomi masih seperti sekarang ini, sulit mengharapkan terjadinya perbaikan ekonomi pada 2006. “Tim ekonomi tidak tahu apa yang mau dilakukan dan bagaimana menempuh kebijakan terobosan, bagaimana mungkin mengatakan ekonomi akan membaik pada akhir 2006,” ujarnya.
Sementara Sri Adiningsih menjelaskan, inflasi akan terus berjalan sampai Desember 2005 karena ada Hari Raya Natal dan Tahun Baru. “Saya perkirakan inflasi akan tetap cukup besar yakni sekitar 1-1,5 persen pada Desember ini,” kata Sri.
Inflasi Januari-Desember 2005 diperkirakan akan menembus angka 18 persen dan ini menjadi masalah serius. Pemerintah perlu mengambil berbagai kebijakan ekonomi seperti memikirkan kembali rencana kenaikan TDL, harga gas elpiji dan tarif telepon. “Deflasi tidak akan terjadi pada November dan Desember karena second round inflation akan terus berlangsung selama Desember,” ujarnya.
Pemerintah perlu mengambil kebijakan mengendalikan angka inflasi seperti menjamin distribusi barang-barang dan memberikan insentif bagi sektor produktif agar mampu bergerak.
Ia menyatakan BI harus tetap mempertahankan kebijakan pengetatan moneter dan menaikkan suku bunga secara terukur (konservatif). “Jangan sampai BI rate dibawa ke level 14 persen sebab ini akan membahayakan sektor riil dan perbankan nasional,” ujarnya.

Belum Respon
Di Denpasar, Jumat (2/12), Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S Goeltom kepada SH, mengatakan, BI tidak akan bereaksi terhadap setiap gejolak tingkat inflasi, apalagi kalau itu sebagai akibat faktor kenaikan harga minyak dunia.
”Kita tidak akan merespons pada setiap terjadi gejolak inflasi, one to one, karena lonjakan yang sekarang mencapai 18,3 persen ini akibat kenaikan harga BBM. Padahal tingkat inflasi inti, atau core inflation, baru berkisar pada angka 8 persen,” ujarnya disela Seminar Internasional ”Marrying Time Consistency in Monetary Policy with Financial Stability: Strengthening Economic Growth” di Jimbaran, Bali.
Dia menegaskan, BI masih akan menghitung apakah harus menaikkan BI rate. ”Kita masih melihat situasi, ini kan external schock,” katanya.
Miranda mengingatkan, awal tahun ini BI rate ditetapkan 7,5 persen dan kini sudah dinaikkan menjadi 12,5 persen, yang berarti ada kenaikan lima persen. ”Jadi apakah akan ada tanggapan dari kami mengenai suku bunga, akan diumumkan hari Selasa (6/12) mendatang,” kata Miranda.
Miranda dalam seminar itu mengatakan, BI akan konsisten dengan target inflasi jangka panjang yang telah ditetapkan, demi menciptakan kredibilitas. ”Konsisten berarti kita tidak boleh membiarkan target inflasi jangka panjang diubah atau membuat kebijakan diskresi, jadi jangan langsung bereaksi terhadap tekanan jangka pendek, harus tetap fokus pada target inflasi, tidak boleh terlalu fleksibel,” katanya.


sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0512/02/sh02.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar