Rabu, 20 Oktober 2010

perempuan,aborsi,dan kontruksi sosial

Di tengah masyarakat kita saat ini, sebagian masih menganggap bahwa “kegilaan” paska aborsi adalah hukuman atau harga yang harus di bayar atas pembunuhan seorang bayi yang tak bersalah. Benarkah demikian? Pertanyaan yang sering saya terima adalah : “Mengapa mau membantu perempuan yang melakukan aborsi?aborsi dalah dosa. Bukankah itu merupakan hukuman yang harus mereka terima?”

Jawaban saya yang paling simple adalah : “ Lalu siapakah di muka bumi ini yang tak melakukan kesalahan?” atau “Hak anda untuk tidak membantu mereka, demikian juga itu merupakan hak saya sepenuhnya untuk memutuskan membantu mereka atau tidak.”

Tak ada siapapun di muka bumi ini yang berhak membatasi hak hidup lebih baik bagi semua orang. Setiap orang belajar dari kesalahan mereka, dan seperti yang lainnya, mereka memeiliki hak yang sama untuk memperbaiki kualitas kehidupan mereka.

Lalu, apakah aborsi benar adalah sebuah kesalahan? Apanya yang salah? Aborsi itu sendiri atau ketidaksiapan mental mereka yang salah? Mari membahas hal itu. Nilai salah atau tidaknya suatu aborsi tidak absolut bagi semua orang. Salah atau tidaknya aborsi didasarkan pada pemahaman bahwa aborsi adalah suatu tindak pembunuhan. Pemahaman ini sangat rancu, karena perdebatan mengenai kapan kehidupan itu sendiri tidak pernah selesai hingga hari ini. Setiap agama bahkan memiliki keyakinan yang berbeda-beda mengenai awal mula kehidupan. Dalam agama islam, kehidupan dianggap telah ada ketika ruh ditiupkan kepada janin yang ada dalam rahim sang ibu. Jika aborsi dilakukan sebelum ruh ini ditiupkan apakah kemudian aborsi dapat dikatakan sebagai sebuah pembunuhan? Pembunuhan memberi makna penghentian hidup secara paksa pada makhluk yang sudah hidup. Lalu jika janin tersebut belum dianggap hidup, dapatkah aborsi dikatakan sebagai sebuah pembunuhan?

Agama dan kelompok-kelompok lain memiliki acuan yang berbeda mengenai hal ini. kelompok pro-choice melihat aborsi adalah sebuah pilihan, dengan mengedepankan hak asasi si ibu. Dalam hal ini perempuan yang hamil memiliki hak atas apa yang paling baik untuk dirinya, termasuk pilihan untuk melakukan aborsi. Kelompok pro-life kemudian membantah hal ini dengan mempertanyakan hak hidup si bayi. Kelompok pro-life melihat hal ini sebagai sebuah ketimpangan di mana si perempuan yang hamil hanya mementingkan hak hidupnya tanpa melihat hak hidup si anak yang berada dalam kandungannya.

Pertentangan antara pro-life dan pro-choice tidak pernah ada habisnya. Setiap kelompok memiliki landasan yang kuat untuk tetap mempertahankan keyakinannya. Terlepas dari pro-life dan pro-choice, saya memiliki pandangan sendiri mengenai hal ini. saya cenderung melihat kesalahan tersebut ada pada perempuan yang melakukan aborsi. Perempuan yang melakukan aborsi cenderung tidak berfikir jernih melihat permasalahan aborsi. Mereka tidak memiliki persiapan mental untuk menghadapi berbagai konsekuensi akibat aborsi. Kebanyakan perempuan yang melakukan aborsi cenderung mengambil keputusan tersebut karena faktor-faktor di luar dirinya. Karena merasa hal itu menjadi aib bagi dirinya dan keluarganya. Karena merasa malu telah melakukan dosa. Karena merasa takut pada keluarga dan malu pada lingkungan. Alasan-alasan ini lah yang kemudian tumpang tindih dengan suara hatinya sendiri. Mereka bahkan tidak memikirkan konsekuensi yang harus mereka hadapi paska aborsi.

Di tengah masyarakat kita di mana akses informasi mengenai aborsi sangat terbatas, tingkat aborsi yang tidak aman meningkatkan resiko keselamatan jiwa dan mental perempuan paska aborsi. Aborsi hanya sebuah isu di permukaan, namun di dalamnya isu-isu lain menjadi sangat krusial dan berpengaruh dalam keputusan seseorang melakukan tindakan aborsi. Agama, budaya dan ekonomi adalah hal yang paling mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan untuk melakukan aborsi.

Pendekatan yang dilakukan samsara dalam hal aborsi adalah melihat si perempuan sebagai pelaku aborsi sekaligus faktor penentu kepulihannya dari sindrom paska aborsi. Bahwa mental adjustment seorang perempuan paska aborsi adalah dengan melihat dan mengeksplorasi lebih jauh berbagai emosi di dalam diri mereka.

Perempuan ini adalah korban dari keterbatasan informasi dan akses mengenai seks dan kesehatan reproduksi, korban dari tirani budaya dan ekonomi yang melemahkan keyakinan mereka akan kehidupan. Korban dari ketakutan yang telah ditanamkan secara turun temurun dalam agama dan budaya kita tanpa memberikan mereka edukasi dan pemahaman mengenai tubuh dan hidup mereka sendiri.

Sekali lagi, para korban ini kemudian tetap harus menjadi faktor pemulihan diri mereka sendiri. Tuntutan untuk perubahan dalam kehidupan bermasyarakat butuh waktu lebih lama dibandingkan kebutuhan mereka yang paling utama, meneruskan hidup dan kembali percaya pada kehidupan.

Masihkah anda menutup mata dan telinga pada fakta ini? masihkah anda berfikir bahwa aborsi semena-mena adalah dosa mereka? Ketika anda merasa berhak mengadili orang lain atas tindakan yang mereka lakukan, pernahkah anda berfikir apa usaha yang telah anda lakukan untuk mencegah hal ini terjadi?

Sebuah ironi ketika sebuah keluarga merasa dipermalukan dan marah kepada anak perempuan mereka yang hamil di luar nikah. Sebuah pertanyaan bagi setiap orangtua ; sebelum anda marah dan kecewa pada anak anda, sudahkah anda memberikan hak mereka untuk memahami tubuh mereka sendiri? Sudahkah anda memberikan pendidikan seks pada anak-anak anda agar anda bisa terhindar dari KTD (kehamilan tidak di inginkan)? Jika tidak, anda turut andil bersalah dalam hal yang anda anggap sebagai suatu kesalahan.

Kehidupan bukan pemberian orang lain. Anda pemilik kehidupan itu dan anda yang menentukan kehidupan apa yang anda inginkan.
http://samsara-artikel.blogspot.com/2009/08/perempuan-aborsi-konstruksi-sosial.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar